Selasa, 06 Januari 2009

Surat Untuk Negerimu (2)

Assala mu'alaikum wr.wb.

Kpd.kawan di Indonesia

Ah...senangnya aku dapat mengirimimu surat lagi. Untuk yang kedua kalinya. Kawan, aku akan melanjutkan cerita-cerita indah mengenai negeriku, negeri di atas langit itu.
Dalam suratku yang pertama, ingatkah kau bahwa ku pernah menuliskan mengenai asas negeri kita yang sama? Kalau kau tak ingat, tolong buka lagi isi suratku yang pertama, kawan. Ngomong-ngomong soal kekeluargaan, aku teringat sesuatu.
Ketika aku berkunjung ke negerimu, aku sering melihat banyak spanduk bertebaran. Bendera-bendera berlabel nama-nama partai di sepanjang jalan. Ada juga foto-foto bapak yang wajahnya terobsesi dengan slogan-slogan menjanjikan memenuhi spanduk jumbo-nya. Adakah benar janji-janji tersebut dilaksanakan?
Kalau di negeriku, penguasa kami tidak memerlukan spanduk-spanduk tersebut untuk mengampanyekan diri-Nya. Terlihat atau tak terlihat, Ia satu-satunya Dzat yang kami yakini memang pantas untuk dipilih, di-abdi oleh kami. Janji-janjinya tidak tersebar di pinggir-pinggir jalan dan tembok-tembok perumahan yang merusak pemandangan, akan tetapi tertera jelas dalam Firman-Nya yang bersastra tinggi itu.
Ngomong-ngomong tentang sastra, masihkah di negerimu anak-anak mengucapkan kata-kata dewasa? Kotor dan kasar? Tak berpendidikan? Aku tidak heran sih. Orang tua di sana banyak yang senang memaki anak-anaknya.
Mungkin anak-anak itu meniru ucapan orang tuanya?
Kalau di negeriku, kami berbicara sesuai umur. Sopan, beradab, dan berkualitas. Hal ini membuat kami tidak segan untuk berlama-lama mengajak berbicara orang lain, bahkan yang tidak kami kenal sekalipun. Karena apa yang kami utarakan, semua merupakan hal-hal yang menyenangkan dan bernada menyejukkan. Tanpa intonasi naik-turun dan saling menggertak atau mendenguskan nafas seperti yang biasa remaja-remaja lakukan di negerimu jika orang tuanya sedang berbicara pada mereka.
Ya ampun, kawan.
Aku minta maaf karena hanya sependek ini isi surat yang kukirimkan padamu. Sebab sembari menuliskan surat ini untukmu, kawan, aku teringat kembali untuk bersyukur.
Entah mengapa.
Baiklah. Untuk menutup surat ini, sekali lagi aku meminta maaf karena tidak dapat menuliskan alamat balasan. Kau tahu 'kan, dari suratku yang pertama aku telah menyebutkan bahwa negeriku memang tidak dapat diperlihatkan kepada siapa-siapa yang tidak mau merengkuh syukur dan bersujud memohon ridho-Nya.

Tidak ada komentar: