Senin, 12 Januari 2009

Pantaskah Menjadi Insan Yang Cendekia?

Pantaskah Saya Menjadi Seorang Insan Yang Cendekia?

Saya adalah alumni dari sebuah sekolah menengah atas berlabel Madrasah, yakni sekolah berasrama milik Habibie bernama Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia Serpong. Sebuah kampus islami yang mengedepankan Imtak (iman dan takwa) dan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Saya masuk ke kampus ini sebagai angkatan ke-11, pada tahun 2005.

Sebenarnya hal yang akan saya tulis di sini sudah basi, tapi saya masih tertarik untuk mengungkapkan pendapat saya menyangkut hal ini. Latar belakang hal ini terpikirkan oleh saya adalah karena tak berapa lama kemarin, usai menjalani UAS bahasa Inggris, sempat tertangkap oleh telinga saya, beberapa alumni IC atas-atas tak sengaja berkenalan dan hal yang mereka bicarakan adalah mengenai IC.

Maghrib itu, tanggal 5 Januari 2009, seusai UAS KPIP, saya pergi ke ATM Center (Mandiri) ITB untuk mengambil uang dengan tujuan membayar biaya kos per bulan (hahaha). Tak sengaja saat mengantri, di dekat ada saya ada Kak Dimas jurusan Informatika yang mana saya ingat sebagai alumni IC tahun atas-atas. Kak Dimas sedang duduk di kursi panjang, dan tiba-tiba ia didatangi oleh dua orang wanita berjilbab.

“Dimas…kenalkan. Alumni IC juga lho…” kata salah seorang wanita yang berjilbab tersebut. Mereka pun saling berkenalan tanpa bersalaman (di Insan Cendekia, menyentuh lawan jenis adalah salah satu hal terlarang dikarenakan bukan muhrim). Dialog pun dimulai…

Jilbab 1: “Oh…saya tahun 1996. Cukup jauh ya kita…”

Dimas: ”Iya, Kak. Benar.”

Jilbab 1: “Gimana keadaan IC sekarang?”

Dimas : “Wah…kurang tahu, Kak. Kan saya sudah lama juga nggak ke sana.”

Jilbab 1: “Saya jujur nih kangen sama IC. Gimana ya keadaannya?”

Jilbab 2: “Ya Tanya saja sama yang baru masuk, Kak.”

Dalam hati saya berpikir, ‘Wah…itu saya!’ Sebenarnya saya sangat ingin memperkenalkan diri sebagai alumni IC pula (cukup narsis ya?!), namun percakapan selanjutnya menciutkan hati saya.

Jilbab 1: “Oh iya…2008 ya? Gimana ya mereka? Mungkin anak-anaknya sudah pada biasa nonton bioskop seminggu sekali ya? Kalau saya dulu mah…boro-boro. Keluar sedikit saja segan, gara-gara ada Intel di mana-mana. Terus kalau ketahuan ke bioskop, langsung diumumkan di depan masjid, disidang ramai-ramai.”

Beberapa kalimat yang teruntai dari mulut kakak tersebut seakan menghujam hati saya. Betapa berbedanya budaya zaman dahulu hingga sekarang, setelah tak berapa lama saat saya mendapat label ‘Alumni IC’. Perubahan menuju ke arah yang lebih ‘tidak baik’.

Dalam hati saya berpikir betapa sulitnya menjadi seorang siswa IC dahulu. Berbeda dengan pada zaman saya, di mana nonton bioskop (bahkan sebenarnya) bukan sekedar seminggu sekali, tapi tiap malam bisa nonton berkali-kali menggunakan laptop (ILEGAL). Berkaitan dengan hal ini, saya teringat pula dengan kenangan-kenangan saya semasa SMA yang ‘akrab’ dengan ke-ILEGAL-an dalam standar kampus IC. Baik itu Laptop, Handphone, dan Pacaran (untuk yang satu ini bukan saya yang mengalami, hanya teman-teman).

Maka terlintas dalam benak saya, bahkan sampai hari ini, ‘Sudah pantaskah saya disebut sebagai alumni IC?’ Seorang alumni keluaran kampus ISLAMI yang katanya satu-satunya Madrasah yang setaraf dengan SMA-SMA Negeri lain.

Sudah pantaskah saya disebut sebagai Insan yang Cendekia?

Hingga saat ini, saya sadar bahwa saya belumlah menjadi orang yang dapat menyandang status ‘alumni IC’. Baru sebatas alumni, belum IC. Saya sadar betul akan hal itu, karena dilihat dari cara berpakaian yang (berjilbab sih berjilbab,tapi belum memenuhi syariat Islam yang sebenarnya), cara berbicara (blak-blakan plus dominan ‘lu/gue’) dan bergaul, semuanya tidak mencerminkan bahwa saya adalah Insan yang Cendekia.

Memang status insan yang cendekia bukanlah mengacu pada standar berpakaian, standar berbicara dan bergaul, akan tetapi (setidaknya yang saya tahu) ketiga hal tersebut adalah salah satunya.

Namun, bukan saya saja yang diragukan akan hal tersebut. Saya pun merasa kalau teman-teman seangkatan dan beberapa kakak angkatan IC lainnya pun begitu. Lantas, apa solusinya? Masalahnya, saya tidak tahu standar apa saja yang diperlukan untuk menjadi seorang Insan yang Cendekia. Teman-teman pun tidak tahu. Mungkin ini hanya masalah perasaan masing-masing yang menyebutkan ‘Ya, saya sudah pantas / Belum, masih dalam proses’.

Entahlah…

Tapi, saya hanya bisa berharap dan berusaha agar saya dapat benar-benar menyandang status Alumni IC bukan secara label, tapi juga secara ISI.

Amin.

3 komentar:

avina_nadhila mengatakan...

waduh can, baca post-an lo yang ini jd merinding gw...hmm, tnyata IC jauh berbeda ya dari yang dulu sampe yg skg,, smakin "MODERN"

smoga kita bisa jadi insan yang benar2 cendekia,,,sperti yg diharapkan

Anonim mengatakan...

apalagi gw
ga pernah pake jilbab lagi
hahahaha

good girl gone bad mengatakan...

mo menanggapi beberapa poin:

1. Saya agak kurang sreg dengan kalimat yg ini "di Insan Cendekia, menyentuh lawan jenis adalah salah satu hal terlarang dikarenakan bukan muhrim"..
bukankah dilarang bersentuhan dengan non-muhrim itu berlaku bagi semua muslim, baik ia pernah bersekolah di IC maupun tidak?
mungkin akan lebih baik jika ditulis "di Insan Cendekia, kami terbiasa untuk tidak menyentuh lawan jenis, karena itu adalah salah satu hal terlarang DALAM ISLAM dikarenakan bukan muhrim"

2. Agak kurang sreg juga dengan yg ini "blak-blakan plus dominan ‘lu/gue’ "
menurut saya, tidak ada yang salah dengan penggunaan "lu/gue". bukankah lu/gue itu berasal dari bahasa daerah yaitu betawi? jadi, menggunakan lu/gue sama normalnya dengan menggunakan "saya/kamu" pada sebagian besar teman kita yg orang sunda, atau "kowe/aku" bagi teman-teman kita yg orang jawa, dan banyak sebutan lainnya.
(bukan) kebetulan saya berasal dari daerah yg tidak menggunakan lu/gue dalam percakapan sehari-hari. Di balikpapan, saya biasa menggunakan aku/kamu. awalnya saya juga merasa janggal dengan lu'gue, bahkan cenderung terasa kurang sopan. namun, setelah saya bersekolah di IC, dan sebagian besar siswanya menggunakan lu/gue, saya pun terbiasa, dan sudah tidak merasa aneh lagi. namun, ketika saya bercakap-cakap dengan teman saya yang sama-sama berasal dari balikpapan, saya tetap menggunakan aku/kamu seperti biasa.

Maaf ya komentarnya panjang bgt. Mudah2an anda bisa menanggapi.