Sabtu, 21 Maret 2009

Mana Nih Putra/Putri Terbaik Bangsa...?

Hari ini saya mengikuti Hearing 2 Pemilihan Ketua Umum Ugreen yang dilaksanakan sejak pukul 10.00 sampai 3 sore. Lalu dilanjutkan dengan Musyawarah Anggota hingga pukul 8 malam yang menghasilkan mufakat menunjuk Vera ‘Vey’ Yulia sebagai Ketua Umum Ugreen periode 2009/2010. Selamat, Kak!

Dalam tulisan ini saya bukan bermaksud untuk menceritakan kronologis atau apa-apa yang berhubungan dengan Calon Ketua Ugreen. Yang ingin saya bahas adalah mengenai kata-kata dari Kak Sonny (mantan ketua Ugreen dulu sekali, sudah di luar ITB, anggaplah ia ‘sesepuh’). Kurang lebih intinya seperti ini:

“ Waktu saya singgah beberapa bulan di UGM, saya menemukan banyak perbedaan antara mahasiswa UGM dan ITB. Jelas sekali kalau anak ITB itu sifatnya childish tapi teoritis. Seakan buku kalkulus tidak mau dipisahkan darinya.”

Saya yakin Anda-anda sebagai pembaca sudah mengerti akan pernyataan di atas.

Beliau (dengan penekanan) juga mengatakan bahwa di UGM banyak terlihat produk-produk mahasiswa yang bermanfaat. Saya kira saya perlu untuk beropini mengenai ini.

Dari kalimat-kalimat tadi, yang menjurus pada inti, bahwa di sekitar gedung perkuliahan UGM, banyak terlihat produk-produk dari mahasiswanya. Bahkan di sekitar rumah-rumah penduduk. Maka, bandingkanlah dengan ITB yang hingga saat ini (dengan konteks Putra/Putri Terbaik Bangsa, suatu elu-eluan dari rektorat bagi setiap mahasiswanya), bahkan membuat produk untuk dipublikasikan atau minimal digunakan di kampus saja belum mampu (atau mungkin lebih tepat saya katakan, belum MAU).

Ke mana sih Putra/Putri Terbaik Bangsa kita?

Saya ulang kembali Tri Dharma Perguruan Tinggi:

1. 1. Pendidikan

2. 2. Penelitian

3. 3. Pengabdian Masyarakat

Saya kira, Tri Dharma Perguruan Tinggi ini berlaku bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Tapi, apakah prinsip yang sama berlaku juga di ITB? UGM secara nyata telah membuktikan bahwa mereka menjalani pendidikan dengan iringannya melaksanakan penelitian, dilanjutkan dengan hasil yang ditujukan untuk mengabdi kepada masyarakat. Lha ITB…?

Saya bukannya menutup mata atas kemampuan mahasiswa ITB. Saya tahu kok, bahwa Elektro (maaf kalau kurang detail, saya lupa) punya proker ke desa-desa yang sudah mulai dilaksanakan dan dikatakan oleh beberapa orang, berjalan dengan baik. Saya tahu kok, kalau KM ITB sering memandu/membimbing anak-anak asuh. Saya tahu juga, ada keranjang takakura di ITB yang kalau dimanfaatkan, bisa membantu mengurangi polusi di lingkungan kita.

Tapi jika dibandingkan dengan kemampuan, potensi, dan kuantitas mahasiswa yang sedang menjalani studi di ITB dengan jumlah 10 ribu orang lebih, produk-produk seperti pernyataan di atas masih sangat kurang. Dalam arti, mahasiswa ITB tidak produktif.

Kalau ditanya soal teori, anak ITB jagonya. Tapi kalau disuruh membuat produk, merealisasikan hasil dari teori tersebut, kok putra/putri terbaik bangsa kita malah bingung sendiri…?

Heran.

Catatan Pendek :

Landasan saya dalam menulis opini ini, saya akui, masih kurang. Sumber-sumber yang mengatakan bahwa ITB punya ini lho…ITB punya itu lho…belum saya ketahui sepenuhnya. Saya yang notabene-nya masih berstatus TPB (mahasiswa ‘cupu’, kata Tito) ini masih dalam tahap belajar, oleh karena itu juga masih butuh bimbingan dari luar untuk lebih memahami tentang ‘apa sih yang sudah mahasiswa ITB lakukan?’ Ya saya selaku penulis dan Anda selaku pembaca, sharing-sharing sajalah lewat blog ini.