Senin, 05 Januari 2009

Belahan Jiwa Yang Sesungguhnya

-jika kamu membaca tulisan ini, aku mohon, gantilah kata ‘aku’ dari sudut pandang sang penulis menjadi ‘aku’ dari sudut pandang kamu sendiri-

Belahan Jiwa Yang Sesungguhnya


“Tiada yang paling membahagiakan selain anak-anak tahu bahwa kami sangat mencintai belahan jiwa kami.”


Kalimat tersebut adalah kutipan sebuah pesan singkat yang kuterima pukul 18.55 pada tanggal 3 Januari 2009 dari Ibuku. Sebuah pernyataan kejujuran yang mampu melunakkan kerasnya hati dan pemikiran seorang anak.

Dua puluh tiga Desember 2008, hari di mana aku terenyuh untuk memohon maaf atas segala tindakan menentang yang kulakukan terhadap orang tuaku, sekaligus menunjukkan bahwa aku ebenarnya menyayangi mereka, meskipun tindakan keseharianku sangat tidak mencerminkan hal tersebut. Tiba-tiba pikiran itu terlintas saja. Namun, begitu kuat sehingga aku segera tergerak untuk benar-benar mewujudkannya. Lantas ku bertanya, apa yang dapat mewakili kata-kata ‘aku sayang kalian’ tersebut?

Merupakan suatu hal yang kebetulan karena akhir-akhir itu aku sedang ‘tergerak’ untuk mengoptimalkan daya baca-ku. Oleh karenanya, aku memutuskan untuk memberi mereka masing-masing sebuah buku. Aku pun pergi ke tempat penjualan buku. Yang terdekat ialah di Gelap Nyawang. Maka, kulangkahkan kakiku ke sana.

Dalam perjalanan, begitu kuatnya perasaan ini kurasakan. Entah mengapa hasrat untuk segera memberikan buku ini sangat kental hingga memenuhi pemikiranku juga. Aku tahu. Bagi masyarakat umum, buku bukanlah sesuatu mahal yang sangat diidam-idamkan. Namun, aku tahu pasti sesuatu benda yang satu ini mampu mengekspresikan perasaan yang ingin kunyatakan ini. Setidaknya kedua orang tuaku tahu bahwa aku menyayangi mereka.

Bagaimana tidak?

Dalam keseharian, mulutku lebih sering menekuk dibandingkan melengkung ceria di hadapan mereka.

Wajahku lebih sering kupalingkan dibandingkan menatap lekat-patuh saat mereka memberi nasehat yang padahal ku tak tahu, apapun itu, akan selalu ada manfaatnya.

Telingaku seolah-olah kututup, pura-pura tak mendengar ketika mereka mengutarakan pendapat dan menceritakan kisah hidup mereka. Bukannya menampakkan ekspresi tertarik saat tiap kata yang terlontar dari mulut mereka mewakili selenting kisah berharga yang belum tentu aku tak mau mengalaminya.

Ragaku lebih sering dan senang berada dalam suatu ruangan tertutup berukuran 3x4 meter yang dipenuhi barang-barang pribadiku, dibandingkan berada bersama mereka menikmati saat-saat kebersamaan walaupun hanya 15 menit.

Sering pula kudenguskan nafas jengkel melihat hasil masakannya yang tidak sesuai dengan ‘mood-ingin-memakan-apa’ dari pikiranku. Tanpa menyentuh masakan-masakan tersebut, berharap ia membuat masakan lain yang sesuai dengan keinginanku.

Begitu banyaknya tindakan menentang yang kulakukan selama ini. Terutama setelah lingkungan di luar rumah lebih dominan kujalani, mereka berdua seakan semakin menjauh. Maksudku, aku semakin menjauhkan diri dari mereka.

Bukan tidak sengaja, akan tetapi aku merasa pada awalnya, rumah yang kutinggali bukanlah rumahku yang sesungguhnya.

Orang tua bukanlah orang-orang pertama yang harus kumintai pendapat saat aku kebingungan bagaimana memecahkan masalah. Aku malah menghindar dari mereka yang, padahal, pasti mau membantuku sepenuh hati. Aku malah lari kepada teman-temanku, yang bahkan belum satu kalimat awal keluhanku, secara ikhlas mau mereka dengarkan.

Bukannya mengikhlaskan tangan membantu mereka melakukan pekerjaannya, yang kukira pasti mereka akan senang setengah mati meskipun justru aku malah akan memperlambat kerjanya. Aku malah mengurung diri di kamar, memutar-mutar frekuensi radio dengan volume sekeras-kerasnya, agar dimaklumi tak mendengar jika mereka memanggil.

Begitu banyaknya tindakanku yang tidak mencerminkan bahwa aku ini adalah seorang anak yang baik. Setelah merasa lebih nyaman dengan lingkungan di luar rumah, maka sepenuhnya kutinggalkan lingkungan itu. Rumah. Keluarga, orang tua.

Tak ingatkah aku bahwa ibuku berjuang mati-matian melindungiku dalam perutnya selama 7 bulan. Meskipun bukan 9 bulan seperti umumnya. Dengan beban bukan secara fisik saja, tapi juga secara batin berharap bahwa ia dapat melakukan yang terbaik dalam merawatku. Perasaan was-was dan kekhawatiran yang besar apabila ia gagal menjaga titipan dari Tuhannya.

Tak ingatkah aku bahwa ayahku merelakan kakinya mondar-mandir mencari uang demi memperjuangkan agar aku dapat dilahirkan di rumah sakit yang baik. Agar aku dapat selamat.

Tak ingatkah aku bahwa ayahku pula adalah orang yang paling sering menangis dalam sujudnya. Merengkuh memasrahkan diri atas segala usahanya. Berharap agar aku dapat benar-benar dilahirkan di dunia.

Ia ingin bertemu denganku.

Tak ingatkah aku bahwa perjuangan ibuku saat melahirkanku adalah perjuangan dalam hidupnya yang paling keras dan mematikan. Hidup - matiku dan dirinya ia pertaruhkan. Mengapa ia harus susah-susah berusaha mengeluarkanku dari perutnya?

Ia ingin bertemu denganku.

Namun. Sekarang. Aku telah jauh dari mereka. Tak hanya secara fisik, akan tetapi juga secara batin.

Aku masih ingat. Tak berapa lama kemarin, ketika ibuku menelepon, ia kunomorduakan dibandingkan obrolan kurang penting dengan teman-temanku. Bukannya sengaja, akan tetapi aku malas menjawabnya.

Padahal ia rindu mendengar suaraku meski hanya sepatah kalimat. Tidak rindukah aku?

Liburan kemarin, ayahku bertanya-tanya ketika mendengar bahwa aku ingin pulang secepatnya. Ia tidak menanyakan padaku secara langsung, akan tetapi dapat kubaca dari wajahnya ia ingin mendapatkan dengan jelas jawaban masuk akal dariku.

Padahal ia rindu bertemu denganku meski hanya beberapa jam. Tidak rindukah aku?

Apa aku tidak sadar bahwa sisa waktu yang kujalani bersama mereka, ku tak tahu, apakah masih akan lama lagi? Jikalau mereka ‘dipanggil’ besok, apakah aku akan siap? Tuhan…

Maka, ketika telah mereka dapati buku untuk mereka dari sang anak tergeletak diam di atas lemari di kamar, tak pelak lagi yang mereka lakukan adalah segera mengirimiku pesan singkat tersebut. Meskipun aku telah berlaku tidak peduli terhadap apa-apa tentang mereka. Lebih benyak tidak peduli daripada secercah kepedulian yang kuberikan. Mereka masih menganggap aku sebagai belahan jiwa mereka.

Sesungguhnya aku merasa tidak pantas menyandang status itu di mata mereka. Belahan jiwa. Ya. Belahan jiwa yang sesungguhnya, bukan belahan jiwa yang dibuat-buat ketika aku menemukan sesosok lawan jenis yang sanagt kukagumi. Bukan belahan jiwa yang kubuat-buat saat seorang teman mampu menyita waktuku lebih banyak bersamanya karena perasaan nyaman berada di dekatnya.

Belahan jiwa yang sesungguhnya.

Tapi…apakah aku juga menganggap mereka sebagai status yang sama?

Bahkan butir-butir air mata yang mengalir di pipi saat kutulis pesan ini masih tak menyadarkanku …

Sudahkah aku menganggap mereka sebagai belahan jiwaku?

Tidak ada komentar: