Senin, 05 Januari 2009

Surat Untuk Negerimu (1)

Assala mu'alaikum wr.wb.

Kpd. kawanku di Indonesia

Hai teman, bagaimana kabarmu?

Sebelumnya, maaf karena sebelumnya aku tidak menulis tanggal di atas. Hari-hari di negeriku terlewati tanpa harus dipikirkan kembali hari-hari kemarin. Jadi kami tidak memerlukan penamaan tanggal, bulan dan tahun seperti di negerimu. Maaf juga karena baru kali ini aku bisa mengirimu surat, kawan. Aku terpesona dengan negeri baruku yang indah, aman, dan menyenangkan di langit sana, sehingga wajar kalau aku melupakan Indonesia yang begitu memilukan.
Aku sangat senang dengan negeri baruku. Pemimpin kami Maha Adil. Ia, Penguasa Seluruh Alam, begitu kawan-kawan baruku menyebutnya, bukanlah lelaki yang gila tahta dan kuasa, karena mutlak kekuasan-Nya tak terbatas. Ia tidak memiliki keturunan yang suka mengelu-elukan jabatan orang tuanya, yang senang memukuli teman sebaya dan menghabiskan uang orang tuanya. Karena ke-Maha Adil dan Maha Bijaksana-Nya itu, kami, rakyatnya, patuh pada Firman-Nya yang menjanjikan kehidupan bahagia bagi siapa-siapa yang mematuhinya, bukan Undang-Undang yang tanpa pemikiran panjang dibuat sehingga harus berulang kali diprotes oleh rakyatnya, terutama mahasiswa. Seperti yang kudengar di negerimu itu.
Pemimpin kami pun di sini dihargai. Kudengar, pemimpinmu justru sebaliknya. Aku tidak heran. Negerimu 'kan hanya bisa membanggakan diri, menonjolkan kepada dunia bahwa seorang pemimpin baru di negeri adikuasa lain pernah tinggal di situ. Aku heran. Padahal hanya menetap selama beberapa tahun, kenapa negerimu bisa sebangga itu?
Memangnya tidak ada hal lainkah dari negerimu yang lebih membanggakan daripada itu?
Kawan, di negeriku, negeri di atas langit, kami memiliki asas yang sama seperti di negerimu. Kekeluargaan. Tapi berbeda di negerimu yang mana kekeluargaan berarti bebas menarik keluarga untuk ikut bersama dalam jabatan tinggi, seperti apa itu istilahnya di negerimu? KKN? Apalah itu. Di negeriku, kekeluargaan berarti kami semua berkehidupan layaknya sebuah keluarga. Tidak ada yang namanya perbedaan ras, agama, suku, dan status sosial. Semua dianggap sama. Yang membedakan derajat kami adalah ketakwaan kami pada penguasa kami. Yang lebih takwa, dialah yang berderajat tinggi.
Menyinggung soal kekeluargaan tadi, apakah di negerimu masih ada konflik antar ras, agama, dan suku seperti dahulu itu? Yang memakan korban anak-anak dan para wanita tak bersalah? Di negeriku, tidak ada satupun yang seperti itu. Kami hidup berdampingan. tidak ada tawuran, kerusuhan, demo yang mampu merusak kendaraan-kendaraan yang lewat. Jadi, kami tidak memerlukan yang namanya TNI, Brimob, Kopassus, dan berbagai istilah lainya dalam bidang itu. Bahkan polisi lalu lintas pun tidak kami perlukan. Toh tidak ada rakyat yang berusaha melakukan penabrakan motor sebagai bentuk balas dendam.
Karena kami hidup berdampingan, kami juga saling menghormati kepentingan masing-masing. Kami tidak saling berebut harta sehingga di negeri kami tidak ada yang namanya pembunuhan, perampokan, dan penculikan yang mana pelakunya meminta uang tebusan.
Hal lain yang membuat kami tentram, masih banyak lagi. Salah satunya, karena di negeri kami tidak ada yang berselingkuh. Kami di sini diciptakan berpasang-pasangan. Pasangan kami wajahnya rupawan bak bidadari/bidadara terindah yang pernah ada. Jikalau pasangan kami tidak serupawan pasangan lain, kami tetap mencintainya. Karena ia memang diciptakan sebagai jodoh kami. Kami benar-benar mencintai pasangan kami, sehingga tidak ada satupun di negeriku suami beranak 5 yang berselingkuh dengan pembantunya hingga hamil. Yang mana agar tidak diketahui oleh istrinya, ia harus susah-susah me-mutilasi pembantunya itu.
Masihkah hal-hal seperti itu terjadi di negerimu, Indonesia?
Kawan,
sebenarnya masih banyak cerita tentang negeriku. sayangnya, negeri baruku, negeri di atas langit ini, memaksaku untuk kembali mensyukuri keindahannya. Aku tidak bisa mengatakan 'tidak' pada perasaan ini. Sesungguhnya pemimpinku yang menyuruhku melakukan syukur dalam firman-Nya. Maka aku senantiasa bersyukur. Juga untuk saat ini.
Akan tetapi, entah mengapa saat menulis surat ini untukmu, kawan, berkali-kali aku mengucap syukur dalam hati.
Jika berusaha mengingat-ingat keadaan dahulu sewaktu aku singgah ke Indonesia, syukurku semakin khusyuk.
Entah mengapa, kawan.

Kiranya sekian saja surat kali ini kutuliskan untukmu. Aku akan segera mengirimimu cerita-cerita indah yang lain dari negeriku. Sesungguhnya aku ingin kembali singgah ke Tanah Air Indonesia-mu, namun, apa daya, negeriku di sini jauh lebih indah dari negerimu. Itupun jika negerimu bisa dibilang indah.
Satu hal lagi permohonan maafku. Aku minta maaf karena engkau tidak dapat membalas suratku ini. Biar aku saja yang mengirimimu surat.
Sebab, aku tidak boleh membertitahukan alamat negeriku padamu, karena negeriku tertutup bagi orang yang enggan bersujud memohon ridho-Nya.

Tidak ada komentar: