Selasa, 30 Juni 2009

Esai PROKM 2 : Wajah Pendidikan di Indonesia

Catatan pendek : Senang sekali mendapati bahwa hasilnya sebanyak 5 halaman. Pertama kalinya. Tapi mungkin mas/jeng pusing bacanya. Banyak basa basi dan isinya tidak berarah. Biarlah. Namanya juga belajar. Gara2 diklat nih blognya kosong. Makanya esai ini harus diposting-lah. Biar blognya ga kosong. Capek juga bikin esai. Tapi SERU.


Belakangan ini masyarakat kerap membicarakan berbagai hal negatif yang terjadi pada badan pendidikan formal di Indonesia, yakni sekolah. Misalnya kebocoran jawaban Ujian Akhir Nasional, kekerasan antar-murid atau guru terhadap murid, maupun kasus pelecehan seksual pelajar. Semua hal tersebut menimbulkan pertanyaan dalam benak masyarakat. Inikah wajah pendidikan di Indonesia?

Beragam komplain dilontarkan. Beragam argumen pun dikemukakan. Namun, apakah semua yang bersuara memahami maksud dari pendidikan itu sendiri? Pada hakikatnya, secara sederhana, pendidikan adalah proses meningkatkan ilmu pengetahuan melalui lembaga formal maupun non-formal. Sedangkan definisi pendidikan yang sebenarnya bagi saya adalah bentuk bimbingan dari pendidik untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan memenuhi kapasitas diri yang terdidik. Kapasitas yang perlu dipenuhi tersebut mencakup fisik, yakni jasmani dan non-fisik, yakni rohani, akal, dan kepribadian.

Definisi di atas apabila dihubungkan dengan kenyataan, tak mungkin saya pungkiri bahwa sesungguhnya pendidikan telah terjadi sejak pertama kali dimulainya peradaban dalam masyarakat. Karena pada setiap peradaban yang terjadi pada masyarakat, berlangsung proses pendidikan di dalamnya.

Sesungguhnya, pendidikan dapat diperoleh di mana saja. Tidak terbatas dari sekolah, perguruan tinggi, dan lembaga non-formal. Mengapa? Mari kita kembali kepada definisi pendidikan sebagai bentuk bimbingan dari pendidik untuk memenuhi kapasitas diri yang terdidik. Kapasitas-kapasitas diri tersebut bukan sebatas kemampuan mengerjakan soal-soal Kalkulus, Kimia, Fisika, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran lainnya. Tidak dibatasi pada akademik. Melainkan kapasitas yang mencakup fisik dan non-fisik sebagaimana yang disebutkan dalam paragraf kedua.

Oleh karena itu, saya katakan bahwa tempat untuk memperoleh pendidikan yang sebenarnya adalah hidup kita sendiri. Menyambung kepada tugas pertama esai PROKM mengenai makna hidup. Dalam esai tersebut saya menyatakan bahwa makna adalah pengetahuan. Dengan mendapatkan makna maka setidaknya kita telah mendapatkan pengetahuan. Dan makna hidup akan menemani kita untuk menemukan pengetahuan hidup. Pengetahuan hidup inilah yang mampu memenuhi kapasitas-kapasitas diri.

Bahasan ini sudah saya kemukakan dalam esai pertama. Jadi sepertinya tidak perlu dibahas ulang. Maka dari itu, saya akan membatasi bahasan mengenai pendidikan dalam tulisan ini. Esai ini akan menekankan pendidikan yang diajarkan oleh pendidik dan diperoleh untuk yang dididik melalui lembaga formal dan non-formal.

Pendidikan formal merupakan bimbingan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan utama berdasarkan akademis di lembaga-lembaga formal, yakni sekolah dan perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan non-formal merupakan bimbingan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan utama dengan spesifikasi keterampilan pada lembaga-lembaga non-formal seperti tempat les bahasa asing, tempat kursus keterampilan tangan, bahkan TPA (Tempat Pengajian Anak).

Selain untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dalam bentuk akademis dan keterampilan, lembaga pendidikan formal dan non-formal juga memiliki tanggung jawab atas pemenuhan kapasitas diri lain bagi pelajar-pelajarnya, yakni kebugaran jasmani, rohani, dan pembentukan kepribadian. Mengapa? Karena seperti yang telah berulang kali dikemukakan di atas, pendidikan yang diajarkan tak sebatas pada akademis saja. Termasuk pula di dalamnya nilai-nilai yang berkembang dalam kemasyarakatan.

Sudah menjelaskan banyak komponen dalam pendidikan. Lantas, apakah sebenarnya pendidikan itu dibutuhkan? Pendidikan sebagaimana yang telah disebutkan dalam paragraf ketiga, mengenai proses pendidikan yang sebenarnya telah terjadi dalam peradaban masyarakat. Apabila ditarik lebih jauh dan dihubungkan kepada perkembangan zaman sekarang, hal ini menunjukkan bahwa dahulu pendidikan dibutuhkan bagi manusia untuk bertahan hidup. Sekarang, pendidikan dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Bagaimana tidak. Perkembangan teknologi, pembangunan infrastruktur, dan pengaktifan lapangan kerja sesungguhnya memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Semua hal tersebut merupakan output (pengeluaran) dari hasil pendidikan.

Para teknokrat, sarjana-sarjana hukum, manajer perusahaan, artis, bahkan presiden Republik Indonesia pun lahir menjadi orang-orang yang berjasa bagi Indonesia berkat pendidikan. Seorang teknisi tidak mungkin mampu membangun infrastruktur-infrastruktur tanpa mempelajari dan melatih keterampilannya di lembaga formal terlebih dahulu. Para pengacara tidak mungkin mampu membebaskan kliennya tanpa tahu bagaimana harus mengatur strategi pembelaan jika ia tidak mengetahui dasar-dasar hukum. Para ahli ekonomi tidak mungkin mampu meningkatkan pemasukan negara apabila tidak mempelajari masalah perekonomian terlebih dahulu. Semua itu berkat pendidikan.

Maka, apabila ditanyakan “Apakah pendidikan itu dibutuhkan?” Jawabannya adalah ya, pasti. Untuk saat ini, pendidikan dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masing-masing pribadi maupun khalayak luas. Berdasarkan keperluan ini, manusia harus mengenyam pendidikan. Kita pun bertanya, “Pendidikan macam apa yang sepatutnya dilaksanakan demi memenuhi keperluan tersebut?” Munculah kata sistem sebagai jawaban.

Pendidikan yang baik bergantung pada keefektifan sistem karena sistem merupakan penyokong utama tersampaikannya pendidikan. Sistem pendidikan yang ideal bagi saya adalah sistem yang mendukung penyampaian pengajaran ilmu pendidikan normatif, teoritis, dan praktis dalam waktu bersamaan kepada yang orang yang dididik.

Setelah banyak berteori, saatnya kita beralih kepada kenyataan yang terjadi di Indonesia. Saat ini, banyak sekali masalah yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam arti keberjalanan proses pendidikan tidak sesuai dengan teori. Banyak mengalami pembelokan. Ditilik dari definisi saja, bagi saya, definisi pendidikan di Indonesia telah melenceng. Pendidikan yang semula merupakan bentuk bimbingan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan kapasitas diri kini menjadi suatu bentuk identitas derajat sosial.

Banyak pribadi yang mengenyam pendidikan agar tidak kalah gengsi dan ditanggapi posisinya dalam bersosialisasi dengan masyarakat luas. Sekedar untuk mendapatkan status pendidikan. Karena faktanya di Indonesia, semakin tinggi status pendidikan yang diperoleh oleh seseorang, semakin tinggi pula penghargaan derajat sosial dari masyarakat di sekelilingnya. Masalah ini sudah merajalela, bahkan mungkin di kampus ITB sendiri masih banyak mahasiswanya yang melanjutkan pembelajaran sekedar untuk mendapat gelar sarjana teknik. Padahal jelas-jelas pendidikan dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, bukan untuk meningkatkan status sosial.

Lembaga-lembaga formal dan non-formal pun sekedar menjadi tempat transit dari rumah kembali lagi ke rumah. Dan proses pembelajaran sekedar menjadi pengisi waktu luang. Pelaksanaan proses pendidikan kini telah menjadi sebuah proses statis. Guru datang ke sekolah untuk mengajar. Bahan ajaran yang selalu sama setiap tahunnya. Bahan ajaran yang selalu sama yang disampaikan kepada murid-murid berbeda di tiap-tiap kelasnya. Dan cara pengajaran yang sama. Begitu pula dengan murid. Datang ke sekolah, mendengarkan penjelasan lalu pulang ke rumah atau memilih bermain bersama kawan dulu sebelum pulang. Proses pembelajaran berlangsung statis.

Masalah lain yang terjadi di Indonesia, yakni krisis karakter. Akhir-akhir ini media massa kerap memberitakan berbagai tindak kriminal yang terjadi di lembaga pendidikan, terutama lembaga formal. Seperti perkelahian antar-pelajar, pelecehan seksual dan moral guru terhadap murid, perekaman video porno pelajar, dan tindak kekerasan antar-pelajar untuk dapat menjadi anggota sebuah geng.

Apa sebenarnya yang salah dengan pendidikan di Indonesia? Menurut saya, masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas muncul atas ketidaksempurnaan sistem pembelajaran di negara kita. Sebagaimana sistem pendidikan ideal yang mampu mendukung penyampaian ilmu pendidikan normatif, teoritis, dan praktis dalam waktu bersamaan, sistem pendidikan di Indonesia justru menitikberatkan pada ilmu pendidikan teoritis. Padahal, ketiganya harus berjalan beriringan. Tidak bisa berat pada salah satu bentuk ilmu karena dalam berkehidupan, ilmu pendidikan teoritis tidak berarti banyak tanpa dibarengi kedua ilmu pendidikan lainnya (normatif dan praktis).

Penitikberatan ilmu pendidikan teoritis menyebabkan akademis menjadi prioritas dengan nilai sebagai parameter keberhasilannya. Faktanya memang seperti ini. Banyak orang tua memerintahkan anak-anak mereka untuk memperoleh nilai setinggi-tingginya. Banyak mahasiswa berusaha meraih Indeks Prestasi (IP) setinggi-tingginya. Tidak salah memang. Namun, sesungguhnya bukan nilai yang dapat membantu kita setelah kita terjun ke masyarakat, dunia pekerjaan yang sesungguhnya. Melainkan kemampuan aplikasi dan terutama karakter serta kepribadian.

Penitikberatan ini akan menjadi salah apabila berbagai cara dihalalkan untuk meraih nilai yang notabene-nya merupakan parameter keberhasilan pendidikan. Misalnya, pihak sekolah membocorkan jawaban Ujian Akhir Nasional kepada murid-muridnya agar semua murid tingkat akhir dapat lulus. Begitu pula dengan kepala sekolah yang terima ‘main belakang’ agar seorang anak dapat melanjutkan pembelajaran di sekolahnya. Aneh. Di mana peran mereka sebagai pendidik moral.

Kurangnya penyampaian ilmu pendidikan normatif mengakibatkan krisis karakter pelajar yang berujung pada timbulnya berbagai tindak kriminal yang sekarang marak dilakukan oleh para pelaku pendidikan, yakni pelajar, guru, maupun civitas lembaga formal atau non-formal lainnya. Sedangkan kurangnya penyampaian ilmu pendidikan praktis menurut saya menyebabkan kestatisan proses pengajaran. Menyebabkan pendidik maupun orang yang dididik merasa kurang bersemangat terhadap proses pembelajaran yang mereka laksanakan.

Ketidaksempurnaan sistem pendidikan di Indonesia pula yang menurut saya menyebabkan pembelokan definisi pendidikan. Sistem pendidikan kita kurang dapat mengefektifkan penyampaian tujuan pendidikan itu sendiri. Mungkin yang ingin saya katakan adalah sistem pendidikan di negara ini tidak memiliki basis. Tidak memiliki dasar untuk melangkah. Akibatnya, inti dari pencapaian pendidikan yang semula merupakan bimbingan dalam rangka menjadi manusia yang lebih berkapasitas menjadi tidak ada. Akhirnya masyarakat sendiri yang menentukan, membentuk opini umum bahwa mengenyam pendidikan adalah untuk meningkatkan status sosial.

Selain masalah-masalah di atas, ada satu masalah yang bagi saya merupakan masalah terbesar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Yakni tingginya biaya pendidikan. Ya. Itulah masalah yang paling sering digunjingkan oleh masyarakat Indonesia.

Apabila ditarik lebih jauh, masalah tersebut timbul dari kesalahan para pengatur sistem pendidikan. Yang saya maksud bukanlah pemerintah pusat. Pemerintah pusat justru sudah berjasa, setidaknya telah menaikkan anggaran pendidikan menjadi anggaran terbesar dibandingkan bidang-bidang lain.

Para pengatur sistem pendidikan ialah mereka para penanggungjawab atas lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang menjalankan birokrasi yang rumit dan tidak jujur. Banyak praktek KKN yang terjadi. Hal ini meyakinkan saya bahwa mereka para birokrat kebanyakan merupakan orang-orang cacat yang egois dan angkuh. Akibat birokrasi yang tidak sehat tersebut, menurun pada masyarakat awam yang sebenarnya tidak berkepentingan untuk dilibatkan dalam proses menuju kemelaratan.

Tanpa berusaha menutup mata atas keberadaan sisi positif, sebenarnya banyak masyarakat yang berniat mengenyam pendidikan agar nantinya mampu berkontribusi kepada Tuhan, bangsa, dan negara. Namun, ketidaksempurnaan sistem dan kecacatan para pengatur sistem telah merusak makna dari pendidikan itu sendiri. Masyarakat hanya mampu melihat berbagai sisi negatif yang ditimbulkan, terutama atas perilaku birokrasi yang memang tidak transparan. Akibatnya, peranan pendidikan yang nampak dalam pandangan masyarakat pun seolah menjadi sebuah wajah yang tercoreng. Pertanyaannya adalah, “Akankah wajah pendidikan di Indonesia ini terus berlanjut?"


Tidak ada komentar: