Rabu, 31 Desember 2008

Hanyakah Bermodal Nasionalisme?


Hanyakah Bermodal Nasionalisme?


Pulau Sebatik, sebuah pulau kecil yang terletak tepat pada perbatasan antara Kalimantan Timur dan Malaysia. Sebagai sebuah daerah perbatasan, sudah sewajarnya kita menemukan tembok yang berfungsi sebagai pembatas antara dua wilayah berkedaulatan. Namun, dalam realita, alih-alih tembok, bahkan pagar bambu pun tidak dapat kita jumpai di perbatasan sana. Yang ada hanyalah patok-patok rendah yang jumlahnya hanya sebanyak 18 buah. Patok-patok tersebut dipasang mengitari garis-garis perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.

Sesungguhnya patok perbatasan yang ‘tidak jelas’ inilah yang akhirnya menjadikan kondisi miris, di mana dalam satu rumah bisa terdiri dari dua wilayah. Salah satu rumah di desa sana, misalnya. Ruang tamunya terletak pada daerah Malaysia, sedangkan dapurnya terletak pada daerah Indonesia. Ironisnya, bahkan ada beberapa rumah yang dibangun di atas tanah Negeri Jiran.

Sebagai daerah perbatasan, Pulau Sebatik sesungguhnya masih dalam lingkup Indonesia. Namun, ada satu fakta lagi yang membuat miris. Acara televisi di daerah tersebut, justru memuat program-program dari Malaysia. Oleh karenanya, rakyat Indonesia di pulau ini lebih akrab dengan keadaan-keadaan Malaysia.

Hal yang sangat kontras dengan Pulau Sebatik ialah Tawau. Sebuah daerah di selatan Malaysia, tepat berseberangan dengan Pulau Sebatik. Tawau murni merupakan wilayah Malaysia. Di sana, kondisi kehidupan warganya sangat berlawanan dengan kondisi rakyat Indonesia di Pulau Sebatik. Maka, tak heran apabila dalam sehari, rakyat Indonesia yang bertandang ke sana untuk berdagang ataupun sekedar membeli kebutuhan hidup sehari-hari mampu mencapai tujuh puluh orang per hari.

Lantas, bagaimana caranya rakyat Indonesia dapat ‘hijrah sejenak’ ke Tawau? Rupanya, di Pulau Sebatik, terdapat sebuah pos, lengkapnya Pos Imigrasi Tawau. Hanya dengan modal cap dari pos tersebut, rakyat Indonesia dapat pergi ke Tawau kapan pun mereka mau.

Kondisi rakyat Indonesia di perbatasan yang sangat kontras dengan kehidupan warga Malaysia, untungnya, tak membuat rakyat Indonesia di sana berfikiran untuk mengganti status warga negara menjadi warga Malaysia. Mereka mengaku masih akan setia dengan NKRI meskipun saat ini iming-iming kehidupan yang lebih baik tepat menanti di hadapan mereka apabila status mereka berubah menjadi warga Malaysia.

Apabila ditanya soal nasionalisme. Ya. Mereka tahu itu, sekaligus apa maknanya. Dengan menjawab pertanyaan apakah mereka masih mau menjadi warga Negara Indonesia, sudah membuktikan bahwa nasionalisme masih tertanam dalam hati mereka. Tanah kelahiran, Indoneisa, adalah tempat asal mereka yang diyakini (semestinya) menjadi tempat berkehidupan mereka hingga akhir hayat.

Namun, kenyataannya, dengan hanya modal nasionalisme tidak akan mampu menghidupi mereka. Yang menghidupi mereka hampir seluruhnya berasal dari tanah Negeri Jiran. Makanan, uang hasil berdagang, bahkan acara televisi. Kehidupan rakyat Indonesia di perbatasan sesungguhnya dipenuhi oleh hiruk-pikuk negeri seberang.

Rakyat Indonesia yang tinggal di perbatasan seakan tenggelam dalam ketidakpastian. Jiwa mengabdi kepada Tanah Air Indonesia masih ada, namun perilaku kehidupan yang harus dijalani justru berkaitan erat dengan Malaysia. Keteguhan hati untuk tetap menjadi WNI, namun nasib seakan memaksa mereka untuk jauh dari ibu pertiwi-nya.

Pulau Sebatik hanyalah satu dari sekian banyak daerah perbatasan yang ada di Indonesia. Namun, seperti halnya sebutan Negara Kesatuan, begitu pula daerah-daerah perbatasan lain. Seakan daerah-daerah perbatasan juga merupakan suatu hal yang ‘Satu’. Nasib yang sama, perilaku kehidupan yang sama.

Indonesia tanah airku

Tanah tumpah darahku

Di sanalah aku berdiri

Jadi pandu ibuku

Lagu Indonesia Raya masih dapat diingat dalam benak anak-anak Indonesia yang tinggal di perbatasan. Untuk menyanyikannya, mereka masih mampu. Namun, sesungguhnya, apakah kata demi kata yang terkandung dalam lagu kebangsaan tanah air masih mampu memaknai jiwa mereka di masa depan nanti? Janji orang tua mereka untuk tetap menjadi warga negara Indonesia, akankah diturunkan kepada sang anak? Sementara mereka tahu benar bahwa kehidupan yang harus dijalani bergantung pada negeri seberang, bukan tanah airnya sendiri, Indonesia.


Jadi, hanyakah bermodal kata ‘nasionalisme’ akan menjamin kehidupan rakyat perbatasan nanti?


1 komentar:

Adhamaski Pangeran mengatakan...

terkadang gw berpikir kenapa soekarno-hatt dulu berani memploklamirkan kemerdekaan dari sabang sampai marauke. ternyata... jaman dulu, yang membuat bangsa ini bisa bersatu dengan ke aneka ragamannya adalah persamaan nasib.

dan menurut gw, itu juga yg terjadi dengan masyarakat pulau butik. yaaa... merasa menjadi bagian dari indonesia bukan karena warisan, tetapi merasakan hal yang sama dengan rakyat lainnya. yaa... kalo di bandung sendirikan masih banyak yg pke produk impor buat memenuhi kebutuhannya, jadi... ngk jauh2 beda ah ^^