Membaca itu menyenangkan
Berpikir itu diperlukan
Berimajinasi itu menggiurkan
Dan Menuangkan Imajinasi dan Pemikiran dalam bentuk tulisan itu
LUAR BIASA memuaskan...
Ucanografi. Ucanologi. Ucanomi. Beberapa materinya dapat dipelajari pada permukaan layar Anda ini. Cabang ilmu yang mempelajari sesosok manusia bernama Sausan Atika Maesara. Sosok yang mampir di layar monitor ini, untuk sekedar menuangkan pendapat dan perasaan dalam sebuah cangkir bernama blog. Dengan seduhan kopi hangat bertajuk buah pikiran.
Catatan pendek : Senang sekali mendapati bahwa hasilnya sebanyak 5 halaman. Pertama kalinya. Tapi mungkin mas/jeng pusing bacanya. Banyak basa basi dan isinya tidak berarah. Biarlah. Namanya juga belajar. Gara2 diklat nih blognya kosong. Makanya esai ini harus diposting-lah. Biar blognya ga kosong. Capek juga bikin esai. Tapi SERU.
Belakangan ini masyarakat kerap membicarakan berbagai hal negatif yang terjadi pada badan pendidikan formal di Indonesia, yakni sekolah. Misalnya kebocoran jawaban Ujian Akhir Nasional, kekerasan antar-murid atau guru terhadap murid, maupun kasus pelecehan seksual pelajar. Semua hal tersebut menimbulkan pertanyaan dalam benak masyarakat. Inikah wajah pendidikan di Indonesia?
Beragam komplain dilontarkan. Beragam argumen pun dikemukakan. Namun, apakah semua yang bersuara memahami maksud dari pendidikan itu sendiri? Pada hakikatnya, secara sederhana, pendidikan adalah proses meningkatkan ilmu pengetahuan melalui lembaga formal maupun non-formal. Sedangkan definisi pendidikan yang sebenarnya bagi saya adalah bentuk bimbingan dari pendidik untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan memenuhi kapasitas diri yang terdidik. Kapasitas yang perlu dipenuhi tersebut mencakup fisik, yakni jasmani dan non-fisik, yakni rohani, akal, dan kepribadian.
Definisi di atas apabila dihubungkan dengan kenyataan, tak mungkin saya pungkiri bahwa sesungguhnya pendidikan telah terjadi sejak pertama kali dimulainya peradaban dalam masyarakat. Karena pada setiap peradaban yang terjadi pada masyarakat, berlangsung proses pendidikan di dalamnya.
Sesungguhnya, pendidikan dapat diperoleh di mana saja. Tidak terbatas dari sekolah, perguruan tinggi, dan lembaga non-formal. Mengapa? Mari kita kembali kepada definisi pendidikan sebagai bentuk bimbingan dari pendidik untuk memenuhi kapasitas diri yang terdidik. Kapasitas-kapasitas diri tersebut bukan sebatas kemampuan mengerjakan soal-soal Kalkulus, Kimia, Fisika, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran lainnya. Tidak dibatasi pada akademik. Melainkan kapasitas yang mencakup fisik dan non-fisik sebagaimana yang disebutkan dalam paragraf kedua.
Oleh karena itu, saya katakan bahwa tempat untuk memperoleh pendidikan yang sebenarnya adalah hidup kita sendiri. Menyambung kepada tugas pertama esai PROKM mengenai makna hidup. Dalam esai tersebut saya menyatakan bahwa makna adalah pengetahuan. Dengan mendapatkan makna maka setidaknya kita telah mendapatkan pengetahuan. Dan makna hidup akan menemani kita untuk menemukan pengetahuan hidup. Pengetahuan hidup inilah yang mampu memenuhi kapasitas-kapasitas diri.
Bahasan ini sudah saya kemukakan dalam esai pertama. Jadi sepertinya tidak perlu dibahas ulang. Maka dari itu, saya akan membatasi bahasan mengenai pendidikan dalam tulisan ini. Esai ini akan menekankan pendidikan yang diajarkan oleh pendidik dan diperoleh untuk yang dididik melalui lembaga formal dan non-formal.
Pendidikan formal merupakan bimbingan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan utama berdasarkan akademis di lembaga-lembaga formal, yakni sekolah dan perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan non-formal merupakan bimbingan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan utama dengan spesifikasi keterampilan pada lembaga-lembaga non-formal seperti tempat les bahasa asing, tempat kursus keterampilan tangan, bahkan TPA (Tempat Pengajian Anak).
Selain untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dalam bentuk akademis dan keterampilan, lembaga pendidikan formal dan non-formal juga memiliki tanggung jawab atas pemenuhan kapasitas diri lain bagi pelajar-pelajarnya, yakni kebugaran jasmani, rohani, dan pembentukan kepribadian. Mengapa? Karena seperti yang telah berulang kali dikemukakan di atas, pendidikan yang diajarkan tak sebatas pada akademis saja. Termasuk pula di dalamnya nilai-nilai yang berkembang dalam kemasyarakatan.
Sudah menjelaskan banyak komponen dalam pendidikan. Lantas, apakah sebenarnya pendidikan itu dibutuhkan? Pendidikan sebagaimana yang telah disebutkan dalam paragraf ketiga, mengenai proses pendidikan yang sebenarnya telah terjadi dalam peradaban masyarakat. Apabila ditarik lebih jauh dan dihubungkan kepada perkembangan zaman sekarang, hal ini menunjukkan bahwa dahulu pendidikan dibutuhkan bagi manusia untuk bertahan hidup. Sekarang, pendidikan dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Bagaimana tidak. Perkembangan teknologi, pembangunan infrastruktur, dan pengaktifan lapangan kerja sesungguhnya memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Semua hal tersebut merupakan output (pengeluaran) dari hasil pendidikan.
Para teknokrat, sarjana-sarjana hukum, manajer perusahaan, artis, bahkan presiden Republik Indonesia pun lahir menjadi orang-orang yang berjasa bagi Indonesia berkat pendidikan. Seorang teknisi tidak mungkin mampu membangun infrastruktur-infrastruktur tanpa mempelajari dan melatih keterampilannya di lembaga formal terlebih dahulu. Para pengacara tidak mungkin mampu membebaskan kliennya tanpa tahu bagaimana harus mengatur strategi pembelaan jika ia tidak mengetahui dasar-dasar hukum. Para ahli ekonomi tidak mungkin mampu meningkatkan pemasukan negara apabila tidak mempelajari masalah perekonomian terlebih dahulu. Semua itu berkat pendidikan.
Maka, apabila ditanyakan “Apakah pendidikan itu dibutuhkan?” Jawabannya adalah ya, pasti. Untuk saat ini, pendidikan dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masing-masing pribadi maupun khalayak luas. Berdasarkan keperluan ini, manusia harus mengenyam pendidikan. Kita pun bertanya, “Pendidikan macam apa yang sepatutnya dilaksanakan demi memenuhi keperluan tersebut?” Munculah kata sistem sebagai jawaban.
Pendidikan yang baik bergantung pada keefektifan sistem karena sistem merupakan penyokong utama tersampaikannya pendidikan. Sistem pendidikan yang ideal bagi saya adalah sistem yang mendukung penyampaian pengajaran ilmu pendidikan normatif, teoritis, dan praktis dalam waktu bersamaan kepada yang orang yang dididik.
Setelah banyak berteori, saatnya kita beralih kepada kenyataan yang terjadi di Indonesia. Saat ini, banyak sekali masalah yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam arti keberjalanan proses pendidikan tidak sesuai dengan teori. Banyak mengalami pembelokan. Ditilik dari definisi saja, bagi saya, definisi pendidikan di Indonesia telah melenceng. Pendidikan yang semula merupakan bentuk bimbingan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan kapasitas diri kini menjadi suatu bentuk identitas derajat sosial.
Banyak pribadi yang mengenyam pendidikan agar tidak kalah gengsi dan ditanggapi posisinya dalam bersosialisasi dengan masyarakat luas. Sekedar untuk mendapatkan status pendidikan. Karena faktanya di Indonesia, semakin tinggi status pendidikan yang diperoleh oleh seseorang, semakin tinggi pula penghargaan derajat sosial dari masyarakat di sekelilingnya. Masalah ini sudah merajalela, bahkan mungkin di kampus ITB sendiri masih banyak mahasiswanya yang melanjutkan pembelajaran sekedar untuk mendapat gelar sarjana teknik. Padahal jelas-jelas pendidikan dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, bukan untuk meningkatkan status sosial.
Lembaga-lembaga formal dan non-formal pun sekedar menjadi tempat transit dari rumah kembali lagi ke rumah. Dan proses pembelajaran sekedar menjadi pengisi waktu luang. Pelaksanaan proses pendidikan kini telah menjadi sebuah proses statis. Guru datang ke sekolah untuk mengajar. Bahan ajaran yang selalu sama setiap tahunnya. Bahan ajaran yang selalu sama yang disampaikan kepada murid-murid berbeda di tiap-tiap kelasnya. Dan cara pengajaran yang sama. Begitu pula dengan murid. Datang ke sekolah, mendengarkan penjelasan lalu pulang ke rumah atau memilih bermain bersama kawan dulu sebelum pulang. Proses pembelajaran berlangsung statis.
Masalah lain yang terjadi di Indonesia, yakni krisis karakter. Akhir-akhir ini media massa kerap memberitakan berbagai tindak kriminal yang terjadi di lembaga pendidikan, terutama lembaga formal. Seperti perkelahian antar-pelajar, pelecehan seksual dan moral guru terhadap murid, perekaman video porno pelajar, dan tindak kekerasan antar-pelajar untuk dapat menjadi anggota sebuah geng.
Apa sebenarnya yang salah dengan pendidikan di Indonesia? Menurut saya, masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas muncul atas ketidaksempurnaan sistem pembelajaran di negara kita. Sebagaimana sistem pendidikan ideal yang mampu mendukung penyampaian ilmu pendidikan normatif, teoritis, dan praktis dalam waktu bersamaan, sistem pendidikan di Indonesia justru menitikberatkan pada ilmu pendidikan teoritis. Padahal, ketiganya harus berjalan beriringan. Tidak bisa berat pada salah satu bentuk ilmu karena dalam berkehidupan, ilmu pendidikan teoritis tidak berarti banyak tanpa dibarengi kedua ilmu pendidikan lainnya (normatif dan praktis).
Penitikberatan ilmu pendidikan teoritis menyebabkan akademis menjadi prioritas dengan nilai sebagai parameter keberhasilannya. Faktanya memang seperti ini. Banyak orang tua memerintahkan anak-anak mereka untuk memperoleh nilai setinggi-tingginya. Banyak mahasiswa berusaha meraih Indeks Prestasi (IP) setinggi-tingginya. Tidak salah memang. Namun, sesungguhnya bukan nilai yang dapat membantu kita setelah kita terjun ke masyarakat, dunia pekerjaan yang sesungguhnya. Melainkan kemampuan aplikasi dan terutama karakter serta kepribadian.
Penitikberatan ini akan menjadi salah apabila berbagai cara dihalalkan untuk meraih nilai yang notabene-nya merupakan parameter keberhasilan pendidikan. Misalnya, pihak sekolah membocorkan jawaban Ujian Akhir Nasional kepada murid-muridnya agar semua murid tingkat akhir dapat lulus. Begitu pula dengan kepala sekolah yang terima ‘main belakang’ agar seorang anak dapat melanjutkan pembelajaran di sekolahnya. Aneh. Di mana peran mereka sebagai pendidik moral.
Kurangnya penyampaian ilmu pendidikan normatif mengakibatkan krisis karakter pelajar yang berujung pada timbulnya berbagai tindak kriminal yang sekarang marak dilakukan oleh para pelaku pendidikan, yakni pelajar, guru, maupun civitas lembaga formal atau non-formal lainnya. Sedangkan kurangnya penyampaian ilmu pendidikan praktis menurut saya menyebabkan kestatisan proses pengajaran. Menyebabkan pendidik maupun orang yang dididik merasa kurang bersemangat terhadap proses pembelajaran yang mereka laksanakan.
Ketidaksempurnaan sistem pendidikan di Indonesia pula yang menurut saya menyebabkan pembelokan definisi pendidikan. Sistem pendidikan kita kurang dapat mengefektifkan penyampaian tujuan pendidikan itu sendiri. Mungkin yang ingin saya katakan adalah sistem pendidikan di negara ini tidak memiliki basis. Tidak memiliki dasar untuk melangkah. Akibatnya, inti dari pencapaian pendidikan yang semula merupakan bimbingan dalam rangka menjadi manusia yang lebih berkapasitas menjadi tidak ada. Akhirnya masyarakat sendiri yang menentukan, membentuk opini umum bahwa mengenyam pendidikan adalah untuk meningkatkan status sosial.
Selain masalah-masalah di atas, ada satu masalah yang bagi saya merupakan masalah terbesar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Yakni tingginya biaya pendidikan. Ya. Itulah masalah yang paling sering digunjingkan oleh masyarakat Indonesia.
Apabila ditarik lebih jauh, masalah tersebut timbul dari kesalahan para pengatur sistem pendidikan. Yang saya maksud bukanlah pemerintah pusat. Pemerintah pusat justru sudah berjasa, setidaknya telah menaikkan anggaran pendidikan menjadi anggaran terbesar dibandingkan bidang-bidang lain.
Para pengatur sistem pendidikan ialah mereka para penanggungjawab atas lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang menjalankan birokrasi yang rumit dan tidak jujur. Banyak praktek KKN yang terjadi. Hal ini meyakinkan saya bahwa mereka para birokrat kebanyakan merupakan orang-orang cacat yang egois dan angkuh. Akibat birokrasi yang tidak sehat tersebut, menurun pada masyarakat awam yang sebenarnya tidak berkepentingan untuk dilibatkan dalam proses menuju kemelaratan.
Tanpa berusaha menutup mata atas keberadaan sisi positif, sebenarnya banyak masyarakat yang berniat mengenyam pendidikan agar nantinya mampu berkontribusi kepada Tuhan, bangsa, dan negara. Namun, ketidaksempurnaan sistem dan kecacatan para pengatur sistem telah merusak makna dari pendidikan itu sendiri. Masyarakat hanya mampu melihat berbagai sisi negatif yang ditimbulkan, terutama atas perilaku birokrasi yang memang tidak transparan. Akibatnya, peranan pendidikan yang nampak dalam pandangan masyarakat pun seolah menjadi sebuah wajah yang tercoreng. Pertanyaannya adalah, “Akankah wajah pendidikan di Indonesia ini terus berlanjut?"
Catatan Pendek : Ada beberapa bagian dalam esai ini yang saya hapus. Senang saat mendapati bahwa esai ini berjumlah 4 halaman. Pertama kalinya. Tapi mungkin di sini banyak sekali basa basinya dan tidak berarah. Biarinlah. Nanmanya juga belajar. Blog saya jadi kosong nih gara2 diklat. Makanya ini harus dipost-kan biar blog saya ga kosong.
Hidup berarti ada. Wujud fisik secara nyata. Ya. Saya memang sedang hidup.
Seperti halnya apabila seseorang berniat untuk melakukan perjalanan, tentunya orang tersebut memiliki tujuan. Hal yang sama berlaku pula pada kehidupan. Manusia yang menjalani kehidupan seharusnya memiliki tujuan. Kecuali bagi mereka yang tidak memiliki tujuan, sama saja dengan mendayung perahu tanpa tahu arah. Tanpa tahu akan ke mana ia berlabuh.
Tidak memiliki tujuan hidup akan memberi pengaruh pula kepada proses hidupnya. Bagaimana ia menjalani kehidupannya. Seolah manusia tersebut tidak memiliki sesuatu yang harus dicapainya, maka ia akan menjalani kehidupan dengan santai, tanpa ambisi, dan tanpa harapan. Seolah ia akan membiarkan kotak hidupnya kosong tak berisi. Itulah mengapa tujuan hidup perlu mendapat prioritas dalam hidup manusia.
Dalam mencapai tujuannya, manusia harus melaksanakan proses. Bagi saya, di sinilah letak komponen terpenting dalam kehidupan. Mengapa? Karena proses berkehidupan adalah satu-satunya komponen dalam hidup yang murni segala sesuatunya berasal dari manusia tersebut.
Analogikan penciptaan manusia dengan produksi barang. Ada input (pemasukan), proses, dan output (hasil). Input (pemasukan) bagi manusia ditentukan oleh Tuhan, Sang Pencipta, dalam wujud pemberian akal, kemampuan fisik, dan kecerdasan. Anugerah yang menjadikan manusia menjadi makhluk paling sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain ciptaan-Nya. Anugerah-anugerah itulah yang disebut sebagai modal berkehidupan bagi manusia.
Begitu pula dengan output (hasil). Murni berasal dari Tuhan, karena Ia adalah Sang Pemberi Keputusan. Ditilik dari analogi tersebut, menurut saya manusia hanya dapat melaksanakan proses, akan tetapi tidak dapat mengatur modal dan hasil. Oleh karena itu, menjalani kehidupan bagi saya hanya berfokus pada proses.
Seorang teman pernah berkata, “Tuhan tidak sedang melempar dadu.” Jelas hal ini mengandung makna yang erat akan hasil bagi perjalanan kehidupan manusia. Jika Tuhan ingin memberikan hasil dengan cara melempar dadu, maka apa pula gunanya kita sebagai manusia berusaha menjalani kehidupan dengan baik. Karena hasil dari proses kita seolah berpatokan pada keberuntungan dan keapesan, bukan makna tersembunyi dari keputusan Tuhan.
Berdasar pada pernyataan “Tuhan tidak sedang melempar dadu”, maka Dia pasti memiliki maksud tersendiri akan hasil dari usaha bagi setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Sebagaimana dalam sebuah firman yang menyebutkan bahwa Tuhan tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Ditilik dari firman tersebut,, maka, peranan proses memang benar ada. Proses yang dikaitkan dengan firman di atas adalah usaha. Usaha yang baik sangat besar kemungkinannya akan menimbulkan hasil yang baik bagi manusia yang menjalaninya (cobalah kaitkan sendiri dengan pernyataan “Tuhan tidak sedang melempar dadu”). Dalam menjalankan proses inilah peranan memaknai hidup diperlukan. Namun sebelumnya, apa itu makna hidup?
Makna adalah arti; maksud. Makna hidup adalah arti; maksud dari setiap kejadian dan kondisi dari kehidupan yang dijalani oleh setiap manusia. Sesungguhnya setiap kejadian dan kondisi dalam kehidupan manusia selalu memiliki makna. Namun, makna yang dimaksud berdasarkan pandangan Tuhan dan tidak ada seorangpun manusia yang mengetahui. Ya. Makna lebih tepat dikatakan sebagai pengetahuan. Dan makna hidup yang barusan saya sebut merupakan pengetahuan Tuhan.
Maka, hidup menjadi bermakna bagi seorang manusia karena kita sendiri yang berusaha memberikan makna kepadanya berdasarkan pandangan kita. Inilah hal yang menurut saya disebut sebagai memaknai hidup.
Mengapa kita perlu memaknai hidup? Karena ia memiliki peranan penting bagi kehidupan. Yakni membuat kita dapat menjalankan proses hidup dengan fluktuatif dinamis. Dalam arti tidak sekedar menjalankan proses dengan statis. Yang begitu-begitu saja. Lurus. Karena memaknai hidup menjadikan proses berkehidupan kita dipenuhi dengan bumbu-bumbu naluri, intuisi, perasaan, konflik, dan pertahanan diri. Dengan adanya bumbu-bumbu ini, proses menjalani hidup akan menjadi menarik dan menyenangkan. Secara langsung hal ini akan berpengaruh pada semangat berusaha kita untuk mencapai tujuan pun meningkat.
Lantas, bagaimana caranya saya memaknai hidup? Satu-satunya hal yang patut dilakukan adalah dengan belajar. Mengapa saya katakan belajar? Dalam kamus disebutkan bahwa belajar adalah usaha untuk mendapatkan pengetahuan. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, makna adalah pengetahuan. Maka saya katakan bahwa definisi belajar merupakan definisi yang paling tepat untuk digunakan.
Selain itu, hanya manusia yang selalu belajarlah yang tidak memiliki kepuasan akan segala hal yang telah ia dapat. Oleh karenanya ia akan selalu berusaha mendapatkan lagi dan lagi. Fitrah manusia yang selalu tidak merasa puas. Dan itu selalu baik selama saya menjalani hidup karena mampu mendorong saya untuk terus berusaha. Itulah filosofi penggunaan kata belajar bagi saya.
Belajar untuk memaknai hidup tidak terpaku pada ukuran akademik atau mata kuliah apapun. Dalam memaknai hidup selama 18 tahun ini, saya akhirnya mampu menyadari bahwa aspek pengembangan merupakan aspek yang paling berpengaruh untuk memaknai hidup.
Aspek pengembangan sendiri dibagi menjadi beberapa sub-aspek, yakni pandangan, kepribadian, dan keahlian. Penjelasannya akan lebih mudah untuk dibahas melalui contoh. Contoh terdekatnya setelah saya berstatus mahasiswa di kampus Ganesha. Mengembangkan pandangan dan kepribadian saya pelajari dengan cara memperhatikan dan berkomunikasi dengan kawan-kawan di kampus. Mulai dari memperhatikan blog, forum, diskusi, dan pembicaraan. Lalu dilanjutkan dengan berkomunikasi dan bergaul dengan kawan-kawan tersebut. Ini adalah cara yang benar-benar ampuh untuk mengembangkan dua sub-aspek pengembangan.
Aspek pengembangan keahlian saya pelajari dengan mengikuti berbagai unit, diklat, dan kepanitiaan di kampus ini. Misalnya, mengembangkan keahlian menulis saya pelajari di unit Boulevard, mengembangkan keahlian merecycle-paper saya pelajari di unit Ugreen, mengembangkan keahlian organisasi dengan spesifiknya koordinasi saya pelajari saat mengikuti kepanitiaan Panpel Pemira KM ITB, mengembangkan keahlian berpikir solutif saya pelajari ketika bergabung dengan forum angkatan 2008, dan masih banyak pengembangan keahlian lain.
Dan sesungguhnya ketiga aspek pengembangan tersebut bagi saya memiliki keterkaitan satu sama lain. Dengan semakin berkembangnya pandangan, saya menyadari bahwa saya tidak sendirian hidup di dunia ini. Apabila ditarik lebih jauh, saya akhirnya dapat menentukan tujuan hidup yang sebenarnya. Tidak asal-asalan untuk menjadi orang sukses seperti yang diimpikan dahulu.
Tujuan jangka panjang saya yakni menggapai ridho Allah untuk kesuksesan akhirat. Tak lain tak bukan karena saya adalah seorang muslim. Sedangkan tujuan jangka pendeknya adalah berkontribusi untuk kemaslahatan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, saya perlu melakukan sesuatu yang memerlukan keahlian. Itulah sebabnya saya merasa perlu untuk belajar mengembangkan keahlian. Apalagi saya yang berstatus mahasiswa ini, selaku calon teknokrat, tentu saat terjun dalam keprofesian akan banyak bersosialisasi dengan masyarakat. Tak pelak, manusia sebagai zoon politicon, yakni makhluk sosial. Dalam bersosialisasi diperlukan kepribadian yang baik agar dapat diterima masyarakat. Itulah sebabnya perlu pembelajaran terhadap pengembangan kepribadian.
Setelah menulis panjang-panjang, saya kira ada baiknya untuk berusaha merangkum setidaknya poin-poin penting dari pernyataan-pernyataan di atas. Pada intinya, hidup bagi saya memang berfokus pada proses. Proses yang memerlukan pemaknaan hidup agar apa-apa yang saya jalani, saya lakukan, tidak bersifat statis. Dan tentu saja agar menarik untuk dilalui sehingga menimbulkan semangat dalam menjalaninya. Lantas, bagaimana cara memaknainya? Bagi saya pun hal ini berfokus pada kata belajar dengan spesifikasi pembelajaran pada aspek pengembangan pandangan, keahlian, dan kepribadian.
Judul : Burning Sea
Terjemahan : Beside a Burning Sea
Pengarang : John Shors
Penerbit : Qanita, PT Mizan Pustaka
Tebal : 3 cm
Harga : Rp 77.500,00 (7 Juni 2009)
Rating (0 sampai 5) : 3
Selama Perang Dunia II, Benevolence, sebuah kapal rumah sakit Amerika Serikat, mengarungi Pasifik Selatan dalam misi damai selama. Namun, ulah seorang pengkhianat menyebabkan kapal tersebut diserang oleh armada Jepang. Hanya sembilan orang yang selamat dan mereka berhasil berkumpul dalam sebuah pulau tak berpenghuni. Tanpa saling mengenal satu sama lain, perjuangan bertahan hidup pun dimulai.
Hari-hari yang dilewati bersama dalam pulau menumbuhkan berbagai perasaan satu sama lain. Terdapat Akira, serdadu Jepang yang sedang dalam perawatan, jatuh cinta kepada Annie, sang perawat. Begitu pula sang perawat, pada akhirnya mengalami perasaan yang sama. Isabelle, kakak Annie, merasa kejadian tersebut mendekatkan kembali dirinya kepada sang suami, Joshua, Kapten Benevolence. Perasaan cinta layaknya ayah dan anak pun muncul terhadap Jack, ahli mesin Benevolence, dan Ratu, anak laki-laki yang menyelinap ke dalam kapal untuk mencari sang ayah.
Di sebuah pulau terpencil, di tengah deru perang, di antara pergulatan dunia, perjuangan untuk bertahan dan memahami makna kehidupan pun dimulai. Namun, sesungguhnya, sang pengkhianat masih ada di antara mereka. Mengawasi. Menunggu saat yang tepat membinasakan kawanan demi menikmati hasil pengkhianatannya.
Novel kedua John Shors ini menampilkan detail setting dengan cermat. Namun, pembawaan emosional bagi pembaca yang ingin ditampilkan pada setiap konflik dan kejadian yang terjadi dalam novel sulit didapat karena penggunaan bahasa yang standar di samping ide cerita yang monoton.
Dalam novel kedua ini, John Shors tidak mampu membawa emosional pembaca dengan baik. Berbeda dengan debut novel pertamanya, Taj Mahal, yang sangat menggugah. Terlepas dari keapikan isi, novel ini cukup dapat memberi pemaknaan akan pentingnya kehadiran orang-orang tersayang dalam hidup. Dapat dibaca saat liburan, ditemani oleh seduhan teh hangat dan camilan gurih.
Sebelum pulang ke Tangerang saya lagi mau iseng pakai tinta cina di kost-an, tanpa memikirkan mau membuat apa, tiba-tiba jadilah saja gambar di atas.
Makna yang ingin ditampilkan gambar ini menimbulkan banyak interpretasi dari saya sendiri. Entah apakah itu:
Setelah memikirkan kemungkinan-kemungkinan di atas, saya kok jadi kepikiran untuk menganalogikan sebuah gambar dengan sebuah masalah ya?
Sesungguhnya tiada yang menjadikan nelangsa
bagi seorang wanita
daripada terjebak dalam relung mencintai dan dicintai